Kemiskinan sudah
menjadi sebuah permasalahan yang krusial sampai saat ini. Berbagai pendekatan
dilakukan oleh para ilmuan dari berbagai bidang dari ilmuan humaniora sampai
pada ilmuan politik dengan perspektif yang berbeda pula untuk mengatasi
permasalahan ini. Penulisan ini saya lakukan dengan melihat kemiskinan yang
terjadi pada masa kini dimana pada masa itu penuh dengan pengaruh kekuatan
kapitalisme, globalisasi, dan struktur politik. Penulisan ini bertujuan untuk
menganalisa secara singkat mengenai kemiskinan di Indonesia pada masa kini berdasarkan
dengan perspektif yang digunakan oleh penulis. Oleh karena itu, untuk
menghasilkan suatu analisa, diperlukan suatu metode berpikir sehingga dapat
membaca Indonesia dengan argumentasi yang tepat dan jelas.
Metode berpikir yang
saya gunakan dalam membaca kemiskinan di Indonesia pada masa kini adalah metode
berpikir strukturalis. Cara berpikir strukturalis merupakan akar dari
perspektif marxisme. Menurut Marx (dalam
David & Gerry 2011, h. 187) terdapat suatu proses dan struktur
esensial yang membentuk atau menyebabkan keberadaan (eksistensi) sosial
kontemporer dan marxisme itu bersifat ekonom dengan penjelasan bahwasanya
relasi ekonomi menentukan relasi sosial yakni relasi antarkelas dan relasi
sosial menentukan relasi politik khususnya bentuk dan tindakan negara. Hal ini
cukup menjelaskan bahwa strukturalis merupakan metode berpikir dengan
mementingkan adanya struktur yang mempengaruhi realitas, khususnya struktur
sosial. Metode yang saya gunakan untuk menjelaskan kemiskinan di Indonesia
adalah menggunakan perspektif sejarah yang disajikan marxisme klasik (David
& Gerry 2011, h. 188) yakni pandangan tentang masa lalu, masa kini, dan
masa depan dengan mengkaitkan ketiganya.
Salah satu ilmuan
politik yang berpengaruh dalam gerakan strukturalis menurut David dan Gerry
(2011, h.330) adalah Louis Althusser yang berpendapat bahwa realitas sosial
diatur oleh interaksi kompleks antara struktur ekonomi, politik, dan ideologi
yang mempunyai otonomi relatif masing- masing satu sama lain. Louis (dalam
David & Gerry 2011 h.330) meyakini bahwa individu dan agen tidak mempunyai
kekuatan otonom, agen hanya berperan sejauh mereka sebagai pembawa struktur. Ketidakotonoman
agen ini disebabkan karena bagi pemandang strukturalis agen hanyalah pendukung
bagi struktur, sedangkan struktur merupakan kekuatan utama dalam menjelaskan realita.
Konsepsi struktur yang
memang telah banyak digandrungi pada masanya memang kini semakin menurun karena
trend keilmuan yang sekarang cenderung neo- liberalisme. Hal ini tentu saja
bukan tanpa sebab. Sebab yang paling utama adalah adanya kritik- kritik
terhadap marxisme sehingga marxisme semakin berkembang menjadi marxisme
kontemporer. Kritikan yang ditujukan pada marxisme yang kaya akan berbagai
pendekatannya semakin menunjukkan kelemahan yang dimiliki oleh strukturalisme. Agensi
atau aktor yang diikusertakan para kaum strukturalis hanya sebagai pendukung
dari struktur membuat metode berpikir ini memiliki kelemahan tersendiri dalam
mengungkap peran aktor. Akibat abai terhadap aktor beserta seluk- beluknya,
pendekatan ini memiliki kelemahan kurang mendalamnya analisa yang dilakukan
karena digunakannya data makro dalam perspektif ini. Seperti memandang roti
pisang, kaum strukturalis memandang roti pisang bisa dijual dengan harga
tertentu dengan tekstur luar tertentu dan memandang roti pisang yang terlihat
cantik dari luarnya. Tetapi, kaum rational choice atau intrepetiv akan
memandang roti pisang sebagai roti yang berasal dari pisang, tepung, disertai
dengan komposisi tertentu sehingga dihasilkan roti yang lezat. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa pendekatan ini tidak memiliki ruang bagi agensi (aktor) dan
tidak mendalam. Selain itu, kelemahan strukturalis ini juga mempunyai kelemahan
yang dimiliki oleh marxisme. Menurut Jessop (dalam David dan Gerry 2011, h. 191)
menyatakan bahwa gender merupakan dasar yang sangat penting dari ketimpangan
struktur yang tidak dapat direduksi menjadi kelas, dan yang tercermin dalam
bentuk dan tindakan negara. Hal ini tentu saja mengungkap kelemahan
strukturalisme yang tidak terlalu mengungkap ketimpangan gender sehingga
muncullah feminisme.
Ada alasan suatu
pendekatan mulai ditinggalkan oleh ilmuan, namun juga terdapat alasan mengapa
tidak sedikit ilmuan yang memilih strukturalisme sebagai suatu metode berpikir.
Strukturalisme memiliki kelebihan dibandingkan dengan metode berpikir lainnya. Sebagai
anak dari marxisme klasik yang kaya raya akan berbagai modelnya, sturkturalisme
mampu menjelaskan realita secara menyeluruh. Selain itu, strukturalis yang
lebih menekankan peran struktur dimana ketimpangan yang terjadi lebih kepada materiil
mampu mengungkapkan keterkaitan antara unsur struktur yang satu dengan yang
lainnya secara baik. Seperti potongan puzzle,
apabila semua puzzle berwarna biru
dan ada satu puzzle saja yang
berwarna merah akan sangat terlihat sekali bahwa struktur yang ada mengalami
ketimpangan dan menimbulkan realita sosial.
Kemiskinan di Indonesia mengalami pasang surut dari masa ke masa. Hal ini ditunjukkan oleh indeks sebagai berikut:
Berdasarkan data
tersebut, presentase penduduk miskin di Indonesia mengalami peningkatan
tertinggi pada tahun 1998. Perlu kita ingat bahwasanya pada tahun tersebut
Indonesia sedang mengalami transisi menuju negara yang demokrasi. Indonesia
mengalami suatu reformasi dengan ditandakannya gerakan besar- besaran dari
masyarakat terutama dari mahasiswa. Hal ini tentu saja bukan euforia sejarah
belaka, bukan pula romantisisme yang harus kita lupakan karena kita sekarang
sedang berada dalam negara yang demokratis. Ada beberapa asumsi penulis
bahwasanya ada kecenderungan kemiskinan yang terjadi pada masa ini adalah hasil
dari ketimpangan struktur yang sudah telah ada sejak dulu.
Intelektual Marxis
Anderson (1983, h. 277) menyatakan bahwasanya hasil kebijaksanaan Orde Baru
merupakan perwujudan maksimal dari kepentingan negara dan argumentasi ini dapat
diuji dengan meninjau sejarah kehidupan bernegara di Indonesia. Apa yang
dilakukan oleh Anderson adalah dengan cara menganalisa perspektif historis yang
terjadi pada masa kolonial, secara kebetulan atau sengaja disamakan telah sama
dengan apa yang terjadi pada masa Orde Baru. Hal ini dapat dilihat dalam
karyanya Old State New Society yang
menjelaskan bahwa struktur yang bekerja adalah kapitalisme yakni VOC yang datang
dengan modus bisnis kemudian dapat memformat negara menjadi state qua state. Hal ini sama dengan
pada masa Orde Baru dimana negara menjadi seorang predator yang memperkuat
dirinya sendiri sehingga menimbulkan kemiskinan bagi masyaraktnya (Anderson
1983). Lokus yang serupa juga menjadi konsentrasi studi dari Olle Tornquist (dalam
Grezia 2011, h. 3) yang menjelaskan Indonesia melalui sudut pandang
perkembangan kapitalisme dengan meminjam teori Marxis dimana pada saat Orde Baru
terjadi suatu otonomi relatif dimana negara tidak sepenuhnya otonom yakni di
satu sisi negara memunculkan sistem kooperatisme dan di satu sisi membuka diri
pada ekonomi dengan privatisasi, kerja sama dengan swasta maupun pihak asing. Hubungan
ini menimbulkan adanya rent seeking, rent
state, dan share provit.
Pendapatan Indonesia sebagian besar berasal dari rente minyak dan bantuan
asing, sehingga negara kurang bergantung pada pajak rakyat. Keuntungan besar
dinikmati oleh aparatur negara yang memiliki tempat strategis. Praktek politik
seperti ini juga diakibatkan oleh faktor ekonomi dan politik kekuasaan.
Berdampak pada monopoli sumber daya oleh kelas sosial dan faksi- faksi tertentu.
Berdasarkan analisa
dari Olle tersebut, dapat disimpulkan bahwasanya yang terjadi semasa Orde Baru
adalah adanya suatu pemusatan sumber daya. Baik sumber daya politik, maupun
sumber daya ekonomi dengan dukungan hubungan patronase sehingga melanggengkan
kekuasaan. Pembangunan ekonomi menjadi prioritas utama bagi Soeharto untuk
menanggulangi kemiskinan. Tentu upaya ini bukan tanpa tujuan, untuk menopang
struktur politik yang kuat maka diperlukan sumber daya yang kuat dan sumber
daya yang kuat tersebut dapat ditemukan dalam penguasaan ekonomi. Kemiskinan
yang terjadi pada masa Soekarno turut andil dalam struktur kekuasaan Soeharto. Ketimpangan
semakin terjadi dengan adanya kapitalisme seperti yang diungkapkan oleh Olle
(1983) dan mempengaruhi kondisi negara. Didukung pula dengan peran Globalisasi
seperti yang dikatakan oleh King (1982) yang menjelaskan peran penting
modernisasi dalam kondisi negara.
Kondisi negara yang
carut marut semasa reformasi dengan hutang luar negeri yang menumpuk dan
kapitalisme kroni Soeharto yang masih tersisa ikut andil dalam kemiskinan. Dengan
adanya kemiskinan yang membengkak semasa reformasi dengan berbarengannya tuntutan
demokratisasi dari rakyat maka demokrasi dilakukan dengan sistem otonomi daerah
dan pemilu demokrasi yang memerlukan biaya yang tidak sedikit. Padahal struktur
yang ada masih mengalami ketimpangan. Seperti adanya kapitalisme yang semakin
merebak di dunia dengan seiringnya trend liberalisasi ekonomi.
Privatisasi yang
dilakukan oleh Soeharto memiliki imbas pada perekonomian saat ini padahal di
lain sisi hutang luar negeri semakin banyak dan tuntutan demokrasi semakin
tinggi. Oleh karena itu, saat ini banyaknya perusahaan asing yang masuk di
Indonesia dan tidak disertainya peningkatan produksi domestik menimbulkan
terjadinya kemiskinan karena negara sendiri telah dikuasai oleh asing dalam
aspek produksi. Contoh adanya produksi dalam negeri yang tidak seimbang dapat
kita lihat dengan adanya import serta ekspor yang tidak seimbang dimana impor
lebih besar daripada ekspor. Adapun data yang menunjukkan adanya ekspor dan
impor yang tidak seimbang adalah sebagai berikut:
Tentu saja yang paling
terlihat adalah ekspor dan impor minyak dimana pada masa Orde Baru Indonesia
mengalami OilBoom dan pembukaan
lapangan untuk perusahaan asing diberikan secara besar- besaran.
Sumber: http://priyadi.net/archives/2005/09/30/krisis-minyak-dunia-dan-indonesia/
Tabel di atas
menjelaskan bahwa produksi minyak tertinggi terjadi pada tahun 1970an dimana
pada saat itu telah kita ketahui terjadi OilBoom.
Indonesia mengalami penurunan produksi pada tahun 2000an sehingga dapat
diketahui bahwasanya konsumsi meningkat disertai dengan jumlah impor yang
tinggi. Hal ini bersamaan dengan adanya penggalakan demokratisasi yang menuntut
adanya penyelenggaraan goodgovernance.
Pada prinsipnya, penyelenggaraan pemerintah saat ini melibatkan peran swasta
dan aktor lain. Adanya ketimpangan antara produksi dalam negeri dalam hal ini
petani lokal dan perusahaan asing menimbulkan kemiskinan yang relatif
terstruktural.
Struktur politik yang relatif
tidak terpusat seperti masa Soeharto dimana pemimpin tidak memiliki kekuatan
yang sangat kuat dalam hal legitimasi politik dan politik mulai dipencarkan ke daerah sehingga daerah
memiliki otonomi (dispersi politik). Otonomi ini memberikan peluang kebebasan
bagi elit lokal untuk melakukan kebijakan. Sehingga negara tidak lagi memiliki
otonomi yang kuat seperti semasa Orde Baru. Hal ini berpengaruh pada kemiskinan
yang terjadi di Indonesia karena banyak terjadi swastanisasi produk- produk
yang di subsidi sebagai dampak dari masuknya peran swasta dalam penyelenggaraan
pemerintah karena negara tidak mempersiapkan daerah yang ‘siap’ untuk didesentralisasi.
Struktur relasi signifikan
pun terjadi pasca Soeharto. Menurut Purwoko (h. 4) bahwasanya pada tahun 1999
pemilu diikuti oleh 48 parpol dan menimbulkan pola relasi antara presiden dan
DPR memiliki perubahan yang cukup signifikan. Menurutnya keterlibatan banyak
partai politik menyebabkan keputusan yang ditujukan untuk bangsa terhambat oleh
kepentingan sesaat sehingga menimbulkan nuansa oligarki ini mengabaikan isu-
isu kemiskinan seperti melambungnya harga sembako dan tingkat pengangguran.
Globalisasi memiliki
peran dalam hal ini. Kapitalisme yang berkembang di dunia yang ditandai dengan
mulai banyaknya pemberontakan di dunia seperti Occupywallstreet di Amerika yang merambah di India bahkan
Indonesia, menandakan bahwa kapitalisme merajai global. Tidak adanya kesempatan
atau struktur pemerintah yang diberikan kepada masyarakat untuk berada dalam
lingkaran produksi nasional dikarenakan negara memiliki kepentingan akan modal untuk
membiayai demokratisasi di Indonesia. Korupsi meraja lela bagaikan semut merah
yang diberi gula menyebabkan negara selama ini berkonstrasi pada demokratisasi
dan penanggulangan korupsi. Penanggulangan ini membutuhkan biaya yang besar
terutama untuk membiayai komisi, khususnya KPK. Hal ini berimbas pada banyaknya
biaya yang dihabiskan oleh pusat untuk memenuhi kebutuhan negara, dalam hal ini
bukan kebutuhan masyarakat semata.
Berdasarkan uraian yang
saya paparkan di atas maka dapat disimpulkan bahwasanya kemiskinan dewasa ini tidak
bisa dilepaskan dari perjalanan masa lalu. Tidak bermaksud untuk terlalu
terjebak dalam sejarah namun kronologi peristiwa yang menyebabkan hubungan
kausal perlu untuk dikaji. Adanya perubahan struktur politik yang fluktuatif
menyebabkan struktur ekonomi memiliki pengaruh signifikan terhadap kemiskinan. Perubahan
dari pasca kemerdekaan ditandai dengan masa euforia kemerdekaan, masa demokrasi
parlementer dengan nuansa pertarungan politik yang kuat, masa demokrasi
terpimpin dengan pemberontakan rakyat akan kemiskinan, pasca orde baru yang percaya
akan kekuatan pembangunan dalam menangani kemiskinan namun berdampak adanya
kemiskinan yang ekstrim semasa tumbangnya rezim ini, dan sekarang dengan nuansa
demokratis yang kental. Peninggalan rezim sebelumnya berupa hutang luar negeri,
pengaruh globalisasi berupa peran kuat ideologi liberal, kapitalisme yang
mengglobal, ekspor dan impor yang tidak seimbang yang terjadi atas akibat dari produksi
dalam negeri yang tidak diberi ‘tempat’ dalam perekonomian nasional karena imbas adanya keputusan untuk membuka
diri terlalu besar bagi asing, kesemuanya mengakibatkan kemiskinan terjadi pada
masa ini. Kemiskinan di Indonesia menjadi suatu permasalahan yang semakin
komplek untuk diselesaikan. Penanggulangan ini dapat dilakukan dengan cara
memperbaiki struktur yang mengalami ketimpangan dengan cara menyeimbangkan
antara faktor produksi dan konsumsi.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar