Kamis, 03 April 2014

DEREGULASI PERBANKAN INDONESIA


DEREGULASI PERBANKAN

Deregulasi perbankan dimulai sejak tahun 1983. Pada tahun tersebut, BI memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menetapkan suku bunga. Pemerintah berharap dengan kebijakan deregulasi perbankan maka akan tercipta kondisi dunia perbankan yang lebih efisien dan kuat dalam menopang perekonomian.

Kebijakan deregulasi perbankan ini kemudian terus terjadi dengan rangkaian kebijakan-kebijakan lainnya. Pada tahun 1988, Pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88). Memasuki tahun 1990-an, BI mengeluarkan Paket Kebijakan Februari 1991 yang berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Pada 1992 dikeluarkan UU Perbankan menggantikan UU No. 14/1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga memberi wewenang yang luas kepada Bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan.(Sumber: www.bi.go.id)

Periode/Tahun Kebijakan
1983 Awal mula deregulasi perbankan. Dikeluarkannya Paket Kebijakan Juni 1983 (Pakjun 83).
1988 Paket Kebijakan Deregulasi Perbankan 1988 (Pakto 88) dikeluarkan oleh Pemerintah.
1991 Paket Kebijakan Februari 1991 dikeluarkan oleh BI.
1992 UU Perbankan disahkan, menggantikan UU No. 14/1967.
1992 Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992 tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil. Cikal bakal            legalisasi Bank Syariah di Indonesia.
Sumber : Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997.

TUJUAN DEREGULASI PERBANKAN

Berdasarkan dokumen “Sejarah Bank Indonesia: Perbankan Periode 1983-1997”, ada beberapa sasaran atau tujuan strategis baik Pemerintah maupun BI melakukan deregulasi perbankan, diantaranya adalah:


  1. Meningkatkan peran perbankan dalam pembangunan ekonomi.
  2. Menciptakan alat-alat moneter berdasarkan mekanisme pasar dan menjaga.
  3. Kestabilan moneter dengan menggunakan alat yang diciptakannya.
  4. Melakukan pengendalian devisa dan mendorong ekspor nonmigas.
  5. Menunjang pengembangan pasar modal.
  6. Menunjang pengembangan usaha kecil dan koperasi.


Untuk mencapai sasaran strategis tersebut baik BI dan Pemerintah menetapkan beberapa langkah strategis yaitu diantaranya adalah :


  1. Menstimulus perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana simpanan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada KLBI.
  2. Mendorong perbankan untuk menciptakan produk-produk jasa perbankan baru maupun meningkatkan efisiensi dalam operasi bank.


KREDIT (MACET) DAN PRAKTEK RENT-SEEKING

Deregulasi perbankan mendorong aturan-aturan mengenai bank menjadi lebih mudah, baik dari sisi pembuatan bank baru atau operasional bank itu sendiri. Salah satu perubahan yang signifikasi terjadi adalah meningkatnya kredit investasi ke sektor industri. Pada periode 1973-1982 rata-rata kredit investasi hanya sebesar 30,1 persen. Angka ini kemudian meningkat pesat setelah dilakukannya deregulasi perbankan. Tercatat terjadi peningkatan sebesar 177,26 persen pada kredit investasi pada akhir tahun 1983.

Sebelum Deregulasi

Pada periode 1973-1982 rata-rata kredit investasi sebesar 30,1 persen. 47,03 % (1981) dan 50,4% (1982)

Sesudah Deregulasi

Terjadi peningkatan sebesar 177,26 persen pada kredit investasi pada akhir tahun 1983.

Sumber: Laporan Bulanan Bank Indonesia, disadur dari Satrio (1988)

Kebijakan deregulasi perbankan yang memiliki tujuan mulia ini kemudian terdistorsi akibat maraknya praktek para pemburu rente (Rent-seekers) saat itu. Sebelum menganalisis pola rent seeking yang terjadi, penulis akan mencoba mencari definisi dan apa saja yang lazim terjadi dalam praktek rent-seeking. Di bawah ini adalah definisi rent-seeking menurut OECD Dictionary:


The opportunity to capture monopoly rents provides firms with an incentive to use scarce resources to secure the right to become a monopolist. Such activity is referred to as rent-seeking. Rent-seeking is normally associated with expenditures designed to persuade governments to impose regulations which create monopolies. Examples are entry restrictions and import controls. However, rent-seeking may also refer to expenditures to create private monopolies.


Berdasarkan definisi di atas maka praktek rent-seeking itu memiliki beberapa ciri:

1. Mencoba menerapkan praktek monopoli, khususnya sumber daya.

2. Adanya praktek merayu atau melobby Pemerintah guna mencari perlindungan atau mendapatkan hak guna sumber daya.

Jika kita lihat konteks deregulasi perbankan dengan kaca mata rent-seeking, kita akan mendapatkan dua ciri tersebut dalam penyalahgunaan kredit perbankan oleh para pemburu rente. Wujud nyata dari praktek rent-seeking ini adalah merebaknya kredit macet di awal tahun 1990-an.

Salah satu kasus yang menghebohkan tentang kredit macet adalah kasus Edy Tanzil. Peristiwa ini berawal dari keterangan anggota Komisi VII DPR RI, A. Baramuli, ketika rapat kerja dengan Gubernur Bank Indonesia di DPR, awal Februari 1994. Dalam rapat kerja itu, Hendro Budiarto-Direktur BI, membenarkan adanya permasalahan tersebut. Tak lama kemudian, Menteri Keuangan dan Direktur Bapindo (Bank Pembangunan Indonesia) juga membenarkan hal ini dan memberikan keterangan langsung terkait kredit macet sebesar 1,3 triliun rupiah kepada Edy Tanzil.

Pada skandal Bapindo, ada beberapa pejabat Pemerintah yang disorot habis-habisan oleh media pada saat itu. Nama-nama seperti Sudomo (Mantan Ketua DPA), J. B. Sumarlin (Mantan Menteri Keuangan), Subekti Ismaun (Mantan Direktur Utama Bapindo). Sudomo pada saat itu memberikan rekomendasi pemberian kredit kepada Edy Tanzil saat dia menjabat sebagai Menko Polkam. Pada saat kredit dikucurkan, J. B. Sumarlin juga sedang menjabat sebagai Menteri Keuangan dan juga Ketua Dewan Komisaris Bapindo. Permasalahan utama kasus Bapindo ini tidak hanya jumlah kredit yang sangat besar (1,3 triliun) tetapi juga terkait kemungkinan pelanggaran legal lending limit dan perubahan prosedur usance L/C menjadi red clause L/C.

Skandal kredit macet tidak hanya terjadi pada kasus Edy Tanzil tetapi juga terjadi di perusahaan-perusahaan konglemerat saat itu. Kasus Mantrust, Kasus Danamon, Kasus Bentoel, Kasus Summa-Astra. Selain itu, kasus kredit macet juga terjadi di kalangan keluarga atau kerabat dekat Cendana, contohnya adalah Bambang dan Tommy. Fenomena ini menujukkan bahwa kebijakan dereguasi perbankan telah menyimpang jauh dari tujuannya lantaran ulah tidak bertanggung jawab para konglomerat hitam pada saat itu.

Tempo (edisi 08/11/1997) juga mempertegas maraknya praktek rent-seeking pada dunia perbankan kita saat itu. Tempo menyebutkan bahwa ada empat “penyakit” perbankan yang dibawa Pakto 88. Pertama, bank-bank banyak dikuasai para konglomerat. Di tangan konglomerat, suburlah praktek insider lending alias pemberian kredit untuk kelompok usaha mereka sendiri, padahal praktek tersebut terlarang bagi dunia perbankan. Kedua, tingginya suku bunga. Ada bank swasta yang berani memasang tarif 30 persen setahun. Ketiga, pemilik bank memperkuat status-quo kesenjangan penguasaan (monopoli) sumber ekonomi dalam masyarakat. Keempat, investasi banyak dikucurkan ke sektor mewah, misalnya apartemen, perkantoran mewah, dan lapangan golf. Sesuatu yang dianggap sebagai investasi yang tidak tepat sasaran.

Deregulasi perbankan adalah kebijakan yang cukup tepat dalam memberikan ruang gerak bagi sektor privat untuk berekspansi, terlebih kondisi Indonesia saat itu memang sedang mendapat tantangan dari resesi global. Sayangnya terjadi begitu banyak bias implementasi kebijakan. Alhasil, kebijakan ini mendorong terjadinya moral hazard dari sisi para pengusaha hitam. Hal ini diperparah karena didukung oleh tidak adanya tindakan tegas Pemerintah terhadap pelanggaran-pelanggaran hukum yang terjadi, bahkan berkolusi dengan beberapa Pejabat Pemerintah saat itu.

PERANAN BI DALAM STABILITAS KEUANGAN

PERAN BANK INDONESIA DALAM STABILITAS KEUANGAN

Sebagai otoritas moneter, perbankan dan sistem pembayaran, tugas utama Bank Indonesia tidak saja menjaga stabilitas moneter, namun juga stabilitas sistem keuangan (perbankan dan sistem pembayaran). Keberhasilan Bank Indonesia dalam menjaga stabilitas moneter tanpa diikuti oleh stabilitas sistem keuangan, tidak akan banyak artinya dalam mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Stabilitas moneter dan stabilitas keuangan ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Kebijakan moneter memiliki dampak yang signifikan terhadap stabilitas keuangan begitu pula sebaliknya, stabilitas keuangan merupakan pilar yang mendasari efektivitas kebijakan moneter. Sistem keuangan merupakan salah satu alur transmisi kebijakan moneter, sehingga bila terjadi ketidakstabilan sistem keuangan maka transmisi kebijakan moneter tidak dapat berjalan secara normal. Sebaliknya, ketidakstabilan moneter secara fundamental akan mempengaruhi stabilitas sistem keuangan akibat tidak efektifnya fungsi sistem keuangan. Inilah yang menjadi latar belakang mengapa stabilitas sistem keuangan juga masih merupakan  tugas dan tanggung jawab Bank Indonesia.

Pertanyaannya, bagaimana peranan Bank Indonesia dalam memelihara stabilitas sistem keuangan? Sebagai bank sentral, Bank Indonesia memiliki lima peran utama dalam menjaga stabilitas sistem keuangan. Kelima peran utama yang mencakup kebijakan dan instrumen dalam menjaga stabilitas sistem keuangan itu adalah:

Pertama, Bank Indonesia memiliki tugas untuk menjaga stabilitas moneter antara lain melalui instrumen suku bunga dalam operasi pasar terbuka. Bank Indonesia dituntut untuk mampu menetapkan kebijakan moneter secara tepat dan berimbang. Hal ini mengingat gangguan stabilitas moneter memiliki dampak langsung terhadap berbagai aspek ekonomi.  Kebijakan moneter melalui penerapan suku bunga yang terlalu ketat, akan cenderung bersifat mematikan kegiatan ekonomi. Begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, untuk menciptakan stabilitas moneter, Bank Indonesia telah menerapkan suatu kebijakan yang disebut inflation targeting framework.

Kedua, Bank Indonesia memiliki peran vital dalam menciptakan kinerja lembaga keuangan yang sehat, khususnya perbankan. Penciptaan kinerja lembaga perbankan seperti itu dilakukan melalui mekanisme pengawasan dan regulasi. Seperti halnya di negara-negara lain, sektor perbankan memiliki pangsa yang dominan dalam sistem keuangan. Oleh sebab itu, kegagalan di sektor ini dapat menimbulkan ketidakstabilan keuangan dan mengganggu perekonomian. Untuk mencegah terjadinya kegagalan tersebut, sistem pengawasan dan kebijakan perbankan yang efektif haruslah ditegakkan. Selain itu, disiplin pasar melalui kewenangan dalam pengawasan dan pembuat kebijakan serta penegakan hukum (law enforcement) harus dijalankan. Bukti yang ada menunjukkan bahwa negara-negara yang menerapkan disiplin pasar, memiliki stabilitas sistem keuangan yang kokoh. Sementara itu, upaya penegakan hukum (law enforcement) dimaksudkan untuk melindungi perbankan dan stakeholder serta sekaligus mendorong kepercayaan terhadap sistem keuangan. Untuk menciptakan stabilitas di sektor perbankan secara berkelanjutan, Bank Indonesia telah menyusun Arsitektur Perbankan Indonesia dan rencana implementasi Basel II.

Ketiga, Bank Indonesia memiliki kewenangan untuk mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran. Bila terjadi gagal bayar (failure to settle) pada salah satu peserta dalam sistem sistem pembayaran, maka akan timbul risiko potensial yang cukup serius dan mengganggu kelancaran sistem pembayaran. Kegagalan tersebut dapat menimbulkan risiko yang bersifat menular (contagion risk) sehingga menimbulkan gangguan yang bersifat sistemik. Bank Indonesia mengembangkan mekanisme dan pengaturan untuk mengurangi risiko dalam sistem pembayaran yang cenderung semakin meningkat. Antara lain dengan menerapkan sistem pembayaran yang  bersifat real time atau dikenal dengan nama sistem RTGS (Real Time Gross Settlement) yang dapat lebih meningkatkan keamanan dan kecepatan sistem pembayaran. Sebagai otoritas dalam sistem pembayaran, Bank Indonesia memiliki informasi dan keahlian untuk mengidentifikasi risiko potensial dalam sistem pembayaran.

Keempat, melalui fungsinya dalam riset dan pemantauan, Bank Indonesia dapat mengakses informasi-informasi yang dinilai mengancam stabilitas keuangan. Melalui pemantauan secara macroprudential, Bank Indonesia dapat memonitor kerentanan sektor keuangan dan mendeteksi potensi kejutan (potential shock) yang berdampak pada stabilitas sistem keuangan. Melalui riset, Bank Indonesia dapat mengembangkan instrumen dan indikator macroprudential untuk mendeteksi kerentanan sektor keuangan. Hasil riset dan pemantauan tersebut, selanjutnya akan menjadi rekomendasi bagi otoritas terkait dalam mengambil langkah-langkah yang tepat untuk meredam gangguan dalam sektor keuangan.

Kelima, Bank Indonesia memiliki fungsi sebagai jaring pengaman sistim keuangan  melalui fungsi bank sentral sebagai lender of the last resort (LoLR). Fungsi LoLR merupakan peran tradisional Bank Indonesia sebagai bank sentral dalam mengelola krisis guna menghindari terjadinya ketidakstabilan sistem keuangan. Fungsi sebagai LoLR mencakup penyediaan likuiditas pada kondisi normal maupun krisis. Fungsi ini hanya diberikan kepada bank yang menghadapi masalah likuiditas dan berpotensi memicu terjadinya krisis yang bersifat sistemik. Pada kondisi normal, fungsi LoLR dapat diterapkan pada bank yang mengalami kesulitan likuiditas temporer namun masih memiliki kemampuan untuk membayar kembali. Dalam menjalankan fungsinya sebagai LoLR,  Bank Indonesia harus menghindari terjadinya moral hazard. Oleh karena itu, pertimbangan risiko sistemik dan persyaratan yang ketat harus diterapkan dalam penyediaan likuiditas tersebut.

TUGAS DAN FUNGSI BANK

TUGAS DAN FUNGSI BANK

Dalam kapasitasnya sebagai bank sentral, Bank Indonesia mempunyai satu tujuan tunggal, yaitu mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Kestabilan nilai rupiah ini mengandung dua aspek, yaitu kestabilan nilai mata uang terhadap barang dan jasa, serta kestabilan terhadap mata uang negara lain. Aspek pertama tercermin pada perkembangan laju inflasi, sementara aspek kedua tercermin pada perkembangan nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara lain. Perumusan tujuan tunggal ini dimaksudkan untuk memperjelas sasaran yang harus dicapai Bank Indonesia serta batas-batas tanggung jawabnya. Dengan demikian, tercapai atau tidaknya tujuan Bank Indonesia ini kelak akan dapat diukur dengan mudah.

TIGA PILAR UTAMA

Untuk mencapai tujuan tersebut Bank Indonesia didukung oleh tiga pilar yang merupakan tiga bidang tugasnya. Ketiga bidang tugas ini adalah:
Menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter.
Mengatur dan menjaga kelancaran sistem pembayaran, serta
Mengatur dan mengawasi perbankan di Indonesia.


FUNGSI BANK

Penghimpun dana Untuk menjalankan fungsinya sebagai penghimpun dana maka bank memiliki beberapa sumber yang secara garis besar ada tiga sumber, yaitu:
  1. Dana yang bersumber dari bank sendiri yang berupa setoran modal waktu pendirian.
  2. Dana yang berasal dari masyarakat luas yang dikumpulkan melalui usaha perbankan seperti usaha simpanan giro, deposito dan tabanas.
  3. Dana yang bersumber dari Lembaga Keuangan yang diperoleh dari pinjaman dana yang berupa Kredit Likuiditas dan Call Money (dana yang sewaktu-waktu dapat ditarik oleh bank yang meminjam)
  4. Penyalur/pemberi Kredit Bank dalam kegiatannya tidak hanya menyimpan dana yang diperoleh, akan tetapi untuk pemanfaatannya bank menyalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada masyarakat yang memerlukan dana segar untuk usaha. Tentunya dalam pelaksanaan fungsi ini diharapkan bank akan mendapatkan sumber pendapatan berupa bagi hasil atau dalam bentuk pengenaan bunga kredit. Pemberian kredit akan menimbulkan resiko, oleh sebab itu pemberiannya harus benar-benar teliti dan memenuhi persyaratan. Mungkin Anda pernah mendengar beberapa bank dilikuidasi atau dibekukan usahanya, salah satu penyebabnya adalah karena banyak kredit yang bermasalah atau macet.
  5. Penyalur dana-dana yang terkumpul oleh bank disalurkan kepada masyarakat dalam bentuk pemberian kredit, pembelian surat-surat berharga, penyertaan, pemilikan harta tetap.
  6. Pelayan Jasa Bank dalam mengemban tugas sebagai “pelayan lalu-lintas pembayaran uang” melakukan berbagai aktivitas kegiatan antara lain pengiriman uang, inkaso, cek wisata, kartu kredit dan pelayanan lainnya.

SIFAT INSDUSTRI BANK

SIFAT-SIFAT INDUSTRI PERBANKAN

Bank adalah bisnis jasa (service). Jasa adalah sesuatu yang ditawarkan oleh satu pihak kepada pihak yang lain yang pada dasarnya tidak berwujud dan tidak mengakibatkan terjadinya perpindahan pemilikan (transfer of ownership) akan sesuatu. Proses produksinya dapat dikaitkan dengan produk-produk fisik. Sebagai bisnis jasa, Bank juga memiliki empat karakteristik khusus :

1. Intangibility (tidak berwujud) : pelayanan jasa perbankan tidak dapat diraba, dilihat atau dipasang.

2. Inseperatability (tidak dapat dipisahkan) : jasa perbankan tidak dapat dibuat terlebih dahulu baru dikonsumsi, tetapi harus dilakukan pada saat yang bersamaan. Proses produksi terjadi pada saat yang sama dengan proses konsumsi. Pelayanan jasa Perbankan baru dapat dilakukan bila ada kehadiran dari personal Bank tersebut. Akibatnya, pengendalian kualitas (quality control) sangat sulit dilakukan. Sehubungan dengan hal inilah maka Bank tidak segan mengeluarkan biaya besar untuk meningkatkan kemampuan karyawannya.

3. Variability (keanekaragaman) : kualitas pelayanan jasa perbankan memiliki tingkat keragaman yang tinggi tergantung dari tempat, waktu, dan orang yang melakukannya. Variabilitas yang tinggi terjadi karena jasa perbankan sangat bergantung dari manusia.

4. Perishability (mudah rusak) : jasa tidak dapat disimpan karena proses produksi terjadi pada saat konsumsi.

Industri perbankan merupakan industri yang memiliki interaksi yang tinggi antara produsen dengan konsumen. Akibatnya, kualitas jasa bank sangat ditentukan oleh manusia, baik penyelenggara jasa (bank) maupun penerima jasa (nasabah). Kualitas jasa perbankan ditentukan oleh kemampuan personil bank dalam menyelesaikan permintaan nasabah, misalnya kecepatan dan kecermatan, tetapi kualitas tersebut juga ditentukan oleh karakteristik dari nasabah, baik umur, sifat, maupun pengetahuan nasabah tentang bank. Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa sifat varibilitas jasa sangat menonjol di industri ini.

Bisnis perbankan merupakan bisnis yang padat modal dan padat karya. Hal ini berhubungan dengan interaksi yang tinggi antara produsen dengan konsumen. Tidak semua bisnis jasa merupakan industri padat karya. Misalnya software house. Walaupun merupakan industri jasa, proses produksinya relatif dapat dipisahkan dari proses konsumsi. Anda tidak menyusun program di depan klien, tetapi menyusunnya di rumah, mempresentsikan ke klien, lalu diaplikasikan.

Seorang nasabah bank sering kali hanya mengenal karyawan bank yang bersangkutan dan tidak begitu memperdulikan lembaga banknya sendiri. Personal relationship (hubungan pribadi) antara penyelenggara jasa dengan penerima jasa merupakan hal yang penting dalam industri perbankan. Itulah sebabnya, dalam industri perbankan nasabah sering pindah bank mengikuti karyawan bank tertentu dan sering terjadi pembajakan karyawan.

PENGERTIAN DAN KLASIFIKASI BANK

PENGERTIAN BANK

Saya rasa kita semua sepakat bahwa arti pendek dari bank adalah tempat menyimpan uang atau menabung, dan juga tempat untuk meminjam uang.
Pada artikel ini akan dibahas mengenai pengertian bank secara lengkap, mulai asal kata bank, pengertian bank secara umum, dan pengertian bank menurut udang-undang pemerintah.

PENGERTIAN BANK BERDASARKAN ASAL KATA

Asal dari kata bank adalah dari bahasa Italia yaitu banca yang berarti tempat penukaran uang. Secara umum pengertian bank adalah sebuah lembaga intermediasi keuangan yang umumnya didirikan dengan kewenangan untuk menerima simpanan uang, meminjamkan uang, dan menerbitkan promes atau yang dikenal sebagai banknote.

PENGERTIAN BANK BERDASARKAN UU

Sedangkan pengertian bank menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 Tanggal 10 November 1998 tentang perbankan, yang dimaksud dengan bank adalah badan usaha yang menghimpun dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan dan menyalurkannya kepada masyarakat dalam bentuk kredit dan atau bentuk-bentuk lainnya dalam rangka meningkatkan taraf hidup rakyat banyak.

Dari pengertian bank menurut Undang-undang Negara Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 1998 dapat disimpulkan bahwa usaha perbankan meliputi tiga kegiatan, yaitu menghimpun dana, menyalurkan dana, dan memberikan jasa bank lainnya. Kegiatan menghimpun dan menyalurkan dana merupakan kegiatan pokok bank sedangkan memberikan jasa bank lainnya hanya kegiatan pendukung. Kegiatan menghimpun dana, berupa mengumpulkan dana dari masyarakat dalam bentuk simpanan giro, tabungan, dan deposito. Biasanya sambil diberikan balas jasa yang menarik seperti, bunga dan hadiah sebagai rangsangan bagi masyarakat agar lebih senang menabung. Kegiatan menyalurkan dana, berupa pemberian pinjaman kepada masyarakat. Sedangkan jasa-jasa perbankan lainnya diberikan untuk mendukung kelancaran kegiatan utama tersebut.


KLASIFIKASI BANK

Bank diklasifikasi berdasarkan berbagai macam perspektif, yaitu:

1. Segi fungsinya
2. Segi kepemilikannya
3. Segi status
4. Segi penentuan harganya.

Berdasarkan segi fungsinya, bank diklasifikasi menjadi:
·         Bank umum (komersial + syariah): bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional dan atau berdasarkan prinsip syariah yang dalam kegiatannya memberi-kan jasa dalam lalu lintas pembayaran.

·         BPR: bank yang melaksanakan kegiatan usaha secara konvensional atau berdasar-kan prinsip syariah yang dalam kegiatannya tidak memberikan jasa dalam lalu lintas pembayaran.


Berdasarkan kepemilikan :

·         Bank MIlik Negara adalah bank yang seluruh sahamnya dimiliki oleh Negara. Tahun 1999 lahir bank pemerintah baru yaitu Bank Mandiri, yang merupakan hasil meger atau penggabungan bank-bank pemerintah yang ada sebelumnya.
·         Bank Pemerintah Daerah adalah bank yang sahamnya dimiliki oleh pemerintah daerah. Bank Pemerintah Daerah yang umum dikenal dengan Bank Pembangunan Daerah (BPD), yang didirikan berdasarkan UU no 13 Tahun 1962. Masing- masing pemerintah daerah telah memiliki BPD sendiri. Disamping itu beberapa pemerintah daerah memiliki Bank Pengkreditan Rakyat (BPR) yaitu salah satu jenis bank yang dikenal melayani golongan pengusaha mikro, kecil dan menengah dengan lokasi yang pada umumnya dekat dengan masyarakat yang membutuhkan.
·         Bank Swasta Nasional                                                                                            
Setelah pemerintah mengeluarakan paket kebijakan deregulasi pada bulan Oktober 1988, muncul ratusan bank-bank umum nasional yang baru. Namun demikian, dari kebanyakan bank-bank itu pada akhirnya banyak yang dikuasai oleh pemerintah. Bentuk umum bank swasta adalah Perseroan Terbatas (PT).
·         Bank koperasi: bank yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh perusahaan berbadan hukum koperasi;

·         Bank asing: bank yang sebagian besar atau seluruh modalnya dimiliki oleh asing, baik swasta maupun pemerintah asing.

·         Bank campuran: bank yang modalnya dimiliki swasta nasional Indonesia dan asing, dan pada umumnya sebagian besar sahamnya dimiliki oleh swasta Indonesia.
Pengklasifikasian bank ini tidak dapat secara kaku diterapkan saat ini, mengingat fenomena kepemilikan bank di Indonesia pasca krisis ekonomi 1998 sangat rumit.